Selfcare untuk Ibu: Egoiskah?

“Mas, di hari ulang tahun ku nanti aku mau minta waktu untuk diriku sendiri, boleh ya? Gak usah seharian cukup buat aku jalan ke kota buat nulis di kafe lalu pulang.”

Lucunya, meskipun suami sudah say yes, dan mempersiapkan apa yang harus di lakukan ketika aku tidak ada, nyatanya hari itu aku tidak jadi pergi. Saat itu kondisi anak ke dua ku masih menyusui. Pikiran terlalu berkecamuk yang membuat aku mengurungkan niat untuk pergi.  Toh pergi juga bakalan kepikiran orang di rumah kan?

Pengalaman pribadi ini terasa sederhana, tapi sebenarnya mungkin mencerminkan dilema besar yang dialami banyak perempuan. Di satu sisi, ibu tetap manusia yang punya kebutuhan dasar, rasa lelah, dan keinginan pribadi yang tak kalah penting. Namun di sisi lain, masyarakat menaruh ekspektasi tinggi pada ibu: harus selalu ada, harus sabar, harus kuat, dan harus mendahulukan keluarga di atas dirinya. 

Di sinilah konsep self-care atau lebih sering dikenal dengan “me time” hadir sebagai solusi. Sayangnya, banyak ibu masih merasa bersalah ketika mencoba meluangkan waktu hanya untuk dirinya sendiri. Padahal, self-care justru bisa menjadi pondasi kuat untuk menjaga kesehatan mental ibu, yang pada akhirnya berdampak positif pada kebahagiaan keluarga.

Mengapa Self-care Itu Penting bagi Ibu?

Mari kita lihat dari keilmuan psikologis! Kebutuhan seorang ibu tidak hanya berhenti pada makan, minum, dan atau tidur. Menurut Abraham Maslow (1943) dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan, manusia membutuhkan pemenuhan dalam berbagai tingkatan: mulai dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan kasih sayang, penghargaan, hingga aktualisasi diri. Banyak ibu terjebak hanya memenuhi kebutuhan paling dasar—baik untuk dirinya maupun keluarganya—namun mengorbankan kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi.

Nah disini sedikit sulit mungkin bagi beberapa orang. Karena waktu seorang ibu untuk dirinya ternyata memerlukan dukungan keluarga khususnya suami. Masih banyak para suami di sekitar kita yang merasa sudah memenuhi kebutuhan istri (menafkahi) ketika sudah memberikan kebutuhan fisiologis serta kasih sayang. Padahal ada kebutuhan untuk aktualisasi diri yang juga sangat penting. 

Banyak cara seorang ibu dalam memanfaatkan waktu sendirinya. “Me time” sederhana, seperti membaca buku, berjalan sore, atau sekadar menyeruput kopi tanpa gangguan, bisa membantu ibu memenuhi kebutuhan psikologisnya. 

Bahkan ada juga loh ibu yang memanfaatkan waktu sendirinya untuk membersihkan rumah (deep clean). Kuncinya adalah tanpa gangguan dari anggota keluarga lain khususnya anak anak. Saat kebutuhan ini terpenuhi, ibu tidak hanya lebih bahagia, tapi juga lebih sabar dan hangat dalam mengasuh keluarga.

Dampak Self-care terhadap Kesehatan Mental Ibu

Studi American Psychological Association (2022) menunjukkan bahwa ibu dengan rutinitas self-care lebih jarang melaporkan gejala stres kronis dibanding ibu yang tidak pernah punya waktu untuk diri sendiri. 

Hasil serupa juga terlihat dalam penelitian di Indonesia oleh Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor (2022) yang menyatakan bahwa Ibu rumah tangga mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk tugas domestik dan paling sedikit untuk waktu luang (leisure). Namun, alokasi waktu luang ternyata memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kebahagiaan ibu.

Tanpa membandingkan dengan orang lain, aku pernah merasakannya sendiri-diriku di tahun 2019 versus diriku di tahun 2025. 

Masih ingat dulu pertama kali resign dari dunia perkantoran dan menjadi ibu rumah tangga di awal tahun 2019. Jauh dari sanak saudara dan teman-teman, tidak bisa mencari pekerjaan baru di kota baru karena kondisinya pas pindah langsung hamil. Satu satunya teman, kerabat adalah suami yang harus bekerja seharian di kantornya. 

Rasa bingung, bersalah, cemas, membuat aku ke dalam kondisi sakit dalam keadaan hamil besar. Sakit yang tidak jelas sakitnya dimana. Sakit saat berjalan, sakit saat duduk, tidur pun sakit, dan parahnya tidak bisa tidur. Setelah diperiksa ke dokter kandungan ternyata tidak ada yang salah dengan kandungan ku. Dokterpun hanya menyarankan ku untuk jangan terlalu banyak pikiran. 

Sekarang, anak-anak ku sudah memasuki usia sekolah. Aku bisa memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan yang berguna untuk diri aku sendiri. Kadang olahraga di gym bareng ibu-ibu komplek, berenang bersama komunitas ibu-ibu, atau bahkan sekedar menulis di perpustakaan dekat sekolah. 

Rasanya aku lebih hidup. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori stres dan coping dari Lazarus & Folkman (1984): self-care menjadi bentuk coping mechanism yang membantu ibu mengelola stres. Dengan kata lain, ibu yang mampu mengatur jeda bagi dirinya sendiri memiliki ketahanan mental lebih baik dalam menghadapi tekanan sehari-hari.

Kesehatan Mental Ibu = Kesehatan Mental Keluarga

Mengapa kesehatan mental ibu begitu penting? Jawabannya sederhana: karena ibu adalah pusat ekosistem keluarga. Ini sudah ku tulis panjang lebar di artikel sebelumnya. Bagian ini aku hanya menambahkan penjelasan teorinya. So pastikan sudah baca dulu artikel sebelumnya yang berjudul Ibu Bahagia, Keluarga Bahagia.

Menurut John Bowlby (1969) dengan Attachment Theory, ikatan emosional anak dengan pengasuh utama (seringkali ibu) sangat menentukan perkembangan psikologisnya. Jika ibu mengalami stres berat, depresi, atau kelelahan emosional, kualitas kelekatan ini akan terganggu. Anak bisa merasa tidak aman secara emosional, bahkan berisiko mengalami gangguan perilaku di kemudian hari.

Selain itu, teori Urie Bronfenbrenner (1979) tentang Ecological Systems menekankan bahwa keluarga adalah sistem inti dari perkembangan anak. Jika sistem inti ini goyah karena ibu tidak sehat secara mental, dampaknya akan menjalar ke lapisan lain: relasi sosial, sekolah anak, hingga kehidupan bermasyarakat.

Seorang ibu yang kekurangan istirahat di malam hari dan bangun dengan keadaan lelah ketika anaknya membutuhkan bantuan mungkin sekali dia justru terbawa emosi negatif (marah) bukannya membantu anaknya yang perlu bantuan. Akibatnya si anak nangis, pergi ke sekolah dengan suasana sedih dan bahkan sudah lelah untuk belajar sebelum proses belajar itu di mulai. 

Dengan kata lain, ketika seorang ibu meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, ia bukan hanya sedang menjaga dirinya—tapi juga sedang melindungi anak, pasangan, dan ekosistem keluarganya.

Rasa Bersalah dan Norma Sosial

Meski teori psikologi jelas mendukung pentingnya self-care, banyak ibu masih terjebak pada rasa bersalah. Hal ini tidak terlepas dari teori peran ganda (Goode, 1960-an), yang menjelaskan bahwa konflik sering muncul ketika seseorang harus menjalankan banyak peran sekaligus. Ibu memegang peran sebagai istri, pengasuh, pekerja, anak bagi orang tuanya, bahkan anggota masyarakat.

Kondisi ini sering membuat ibu merasa bersalah jika ada satu peran yang ia istirahatkan sejenak. Ditambah lagi dengan norma budaya di Indonesia yang masih memandang ibu ideal sebagai sosok pengorbanan tanpa batas. Padahal, pengorbanan tanpa jeda justru berpotensi membuat ibu jatuh ke dalam burnout

Dukungan suami sangat berperan besar dalam tantangan ini. Beri dukungan kepada para ibu dengan sesekali menegaskan kalau tidak apa jika istrinya ingin mengikuti aktivitas di luar tugas domestik. Tidak hanya dari sisi finansial, tetapi juga ikut berperan dalam menjaga anak-anak.

Self-care dan Life Satisfaction

Mengambil waktu untuk diri sendiri terbukti berhubungan dengan kepuasan hidup. Ed Diener (1985) dalam konsep Subjective Well-Being menjelaskan bahwa kepuasan hidup tidak hanya bergantung pada ketiadaan masalah, tapi juga pada kemampuan seseorang menemukan momen positif dalam kesehariannya.

Bagi ibu, momen positif ini bisa muncul dari hal-hal kecil: menulis jurnal, berolahraga, berbincang dengan sahabat, atau sekadar menikmati musik favorit. Aktivitas ini meningkatkan emosi positif, mengurangi stres, dan akhirnya memperbaiki kepuasan hidup secara keseluruhan.

Momen sederhana ini sering kita lihat dalam sehari-hari. Misal seorang ibu yang sedang menonton drama kesukaannya ketika sedang menyusui anaknya. Menyalakan musik ketika membersihkan rumah sehingga ibu bisa mengikuti nyanyian nya sambil menari nari.

Jadi, Apakah Self-care bagi Ibu Itu Egois?

Jawabannya: tidak.

Self-care bukan tindakan egois, melainkan strategi bertahan hidup yang sehat. Ibu bukanlah mesin tanpa henti. Ibu adalah manusia dengan kebutuhan psikologis yang kompleks. Dengan meluangkan waktu untuk diri sendiri, ibu sedang mengisi ulang energinya agar bisa kembali memberikan yang terbaik untuk keluarga.

Saatnya kita mengubah paradigma tentang ibu. Menjadi ibu bukan berarti menghapus identitas pribadi. Menjadi ibu justru berarti belajar menjaga diri agar tetap sehat, kuat, dan bahagia demi keluarga.

Maka, mari kita akui bersama: self-care adalah bentuk cinta, bukan egoisme.

“Ingatlah, ibu juga manusia. Menjaga kewarasan adalah bagian dari mencintai anak dan pasangan—karena ketika ibu sehat mental, keluarga pun akan lebih mudah berbahagia.”

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.