Berbicara tentang kesehatan mental, aku selalu teringat dengan masalah keuangan baik itu individu maupun keluarga. Pernahkah kita merasa pusing bukan karena sakit kepala, tapi karena dompet yang kian menipis sebelum akhir bulan?
Banyak orang mengira kesehatan mental hanya urusan psikolog atau emosi semata, padahal salah satu faktor terbesar yang memengaruhi pikiran kita sehari-hari justru soal keuangan. Uang mungkin bukan segalanya, tetapi hampir semua hal dalam hidup keluarga berkaitan dengan keuangan. Di titik inilah kesehatan mental dan keuangan saling bertautan, membentuk lingkaran yang bisa sehat atau justru beracun.
Keuangan adalah sumber stress no.1
Tanpa kita sadari mungkin beberapa kasus ini ada dalam kehidupan kehidupan kita sehari hari di lingkungan terdekat kita. Sumber stress ini yang juga menjadi sumber retaknya ketahanan keluarga.
Data dari American Psychological Association (APA, 2022) menunjukkan bahwa keuangan adalah sumber stres utama bagi 72% orang dewasa. Sementara di Indonesia, Survei Katadata Insight Center (2023) menemukan bahwa masalah ekonomi mendominasi faktor stres keluarga muda, terutama soal biaya pendidikan dan cicilan. Artinya, uang bukan sekadar angka di rekening, melainkan faktor emosional yang memengaruhi kualitas hidup.
Beban finansial seperti utang menumpuk, biaya pendidikan anak, hingga kebutuhan harian yang makin mahal bisa menggerus ketenangan jiwa.
Faktanya hubungan antara keuangan dan kesehatan mental ini berjalan dua arah. Stres akibat tekanan keuangan bisa membuat kita sulit fokus, mudah emosi, bahkan kehilangan motivasi bekerja.
Sebaliknya, kondisi mental yang rapuh juga bisa berdampak pada cara kita mengatur uang. Misalnya, sebagian orang melampiaskan stres dengan belanja impulsif (retail therapy) atau justru menghindari membicarakan masalah keuangan sama sekali. Akibatnya, masalah finansial makin menumpuk, mental makin berat—lingkaran setan pun terjadi.
Psikolog Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, bahkan menyebut bahwa keputusan keuangan sering kali lebih dipengaruhi emosi ketimbang logika. Saat mental kita kacau, kemampuan mengambil keputusan finansial yang sehat ikut menurun.
Keluarga sebagai Arena Utama
Dalam konteks keluarga, hubungan antara mental dan keuangan menjadi semakin kompleks. Banyak konflik rumah tangga justru dipicu persoalan finansial. Sebuah studi dari University of Denver (2019) menemukan bahwa pasangan yang sering berdebat soal uang memiliki kepuasan pernikahan lebih rendah dan berisiko tiga kali lipat bercerai dibanding pasangan yang lebih terbuka soal keuangan.
Di sisi lain, kondisi mental ibu dan ayah sangat menentukan cara uang dikelola. Ibu yang mengalami stres berlebihan cenderung kesulitan membuat keputusan keuangan rasional, sementara ayah yang depresi mungkin kehilangan produktivitas kerja. Akhirnya, stabilitas keluarga goyah bukan hanya karena uang yang sedikit, tetapi juga karena mental yang rapuh.
Edukasi Finansial dalam Keluarga
Sadar gak sih kalau kebiasaan kita dalam mengelola keuangan saat ini adalah hasil dari didikan orang tua sewaktu kita kecil. Hal kecil yang jadi besar yang terjadi pada diri ku misalnya, orang tua selalu mengajarkan aku untuk menyisihkan uang di celengan untuk membeli sesuatu yang aku inginkan. Sampai sekarang aku sudah terbiasa jika ingin membeli sesuatu harus menabung.
Meskipun hidup dalam kekurangan, aku tidak pernah melihat orang tuaku berhutang untuk sesuatu yang konsumtif. Alhasil aku menjadi orang yang tidak suka berhutang. Sayangnya tidak semua orang tua demikian.
Banyak orang tua di Indonesia masih menganggap pembicaraan soal uang tabu untuk anak-anak. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa literasi finansial yang ditanamkan sejak dini sangat berpengaruh terhadap cara individu mengatur keuangannya ketika dewasa, bahkan saat ia sudah berkeluarga.
Oleh karena itu, tulisan ku kedepan akan banyak membahas keuangan yang sehat untuk jiwa yang sehat. Bagi temen-teman yang ingin memberikann saran boleh tulis di komentar yah!
Kesehatan mental dan keuangan keluarga bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan dua sisi dari koin yang sama. Keduanya saling memengaruhi dan saling menguatkan. Karena itu, penting bagi kita untuk mulai melihat keuangan bukan sekadar soal angka, tetapi juga soal rasa. Begitu pula kesehatan mental, jangan hanya dianggap urusan pribadi, melainkan juga investasi keluarga.
Uang bisa kita cari kembali, tapi ketenangan jiwa jauh lebih mahal. Keluarga yang mampu menyeimbangkan keduanya bukan hanya akan bertahan, tetapi juga bertumbuh bahagia.